Renungan Lukas 16: 13-18 (Abdi Allah Bukan Mamon). Jika di Tianjin, China ada Bai Fang Li, di Surabaya ada Abdul Syukur. Keduanya bekerja sebagai tukang becak. Meski hidup mereka penuh kekurangan, kebaikan hatinya sudah tidak dapat diragukan lagi. Dengan cara unik, mereka sudah menunjukkan. Bai Fang Li menyumbangkan semua uang kepada yayasan yang menyantuni sekitar 300 anak yatim piatu miskin di Tianjin. Kebiasaan Abdul Syukur pada pukul 21.00 adalah menambal jalan berlubang supaya tidak mencelakai mereka yang berlalu lintas.
Abdi Allah Bukan Mamon
Seperti tindakan mereka yang di luar dugaan, dari ayat di atas pernyataan Yesus sangat kontradiktif dengan ayat sebelumnya. Dinyatakan “Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur (Luk. 16:9). Sebelumnya, Dia menyuruh orang lain untuk mengikatkan diri dengan Mamon. Sesudahnya, Dia berwacana tentang pengabdian antara Allah dan Mamon.
Jika seseorang mengabdi pada salah satunya, pasti ia mengabaikan lainnya. Sementara, ketika seseorang mengabdi pada salah satu sesembahan, pasti ia mengikatkan diri dengan sesembahan itu. Untuk mengklarifikasinya, saat Dia menyuruh, “Ikatlah”, dengan Mamon, justru bendahara itu meringankan beban orang lain. Dengan kecerdikannya, jumlah utang dari orang yang berutang dengan tuannya dikurangi. Dengan tindakan ini, ia menjadi Abdi Allah. Berbeda dengan perintah itu, justru orang Farisi itu telah menjadi hamba uang atau abdi Mamon. Sungguh ironis.
Karena itu, supaya tidak seperti mereka, jika mendapatkan uang, ringankanlah beban orang lain. Pedulilah kepada orang lain yang sangat membutuhkan. Jika kedua hal ini tidak Anda lakukan, artinya Anda telah mengabaikan Allah. Tidak malukah Anda dengan dua tokoh di atas? Dari kekurangan mereka, justru mereka memberi manfaat.