Renungan-Kejadian-1-1-31-Merayakan-Hidup
Renungan-Kejadian-1-1-31-Merayakan-Hidup

Renungan Kejadian 1 : 1-31 | Merayakan Hidup

Renungan Kejadian 1 : 1-31 | Merayakan Hidup. Mbah Surip – demikian sapaan akrab beliau, merupakan salah satu sosok seniman tanah air yang memiliki kekhasan tersendiri baik dalam hal penampilan maupun karya-karya yang dihasilkan. Walaupun raganya sudah mati tetapi karyanya masih terus hidup dan dinikmati sampai saat ini. Misalnya saja lagunya yang berjudul ‘Bangun Tidur’. Liriknya sederhana namun sangat menghibur. Ah, andai saja hidup ini hanya soal ‘bangun lagi’ dan ‘tidur lagi’ seperti lirik lagu tersebut. Tapi tentu saja tidak. Dalam ‘bangun’ kita menghadapi realitas dan mengerjakan berbagai tugas dan tanggung jawab, sebelum akhirnya kita berhenti dan lelap dalam ‘tidur lagi’. Namun hal lain perlu diingat bahwa pada akhirnya hidup juga adalah tentang ‘tidur dan tak bangun lagi.’ Mati. Ya, kita fana! Namun realitas ini seharusnya tidak membuat kita bersikap pesimis terhadap segala sesuatu dalam kehidupan karena kita tahu sekarang bahwa dalam Kristus kita telah memiliki jaminan kehidupan yang sungguh amat baik dalam kekekalan bersama-Nya. Oleh sebab itu hidup yang sekarang ini pun perlu dirayakan, dimaknai dan dijalani sebaik mungkin. Pasal pertama dari kitab Kejadian mengajarkan kita setidaknya dua poin penting tentang hal ini.

Laku Spiritual Ekologis

Narasi penciptaan dalam Kejadian 1:1-31 ini disusun sedemikian rupa, dan Allah ditunjukkan sebagai Arsitek Ilahi yang mengerjakan semuanya dengan firman-Nya. Dia menjadikan terang dan memisahkannya dari gelap, Dia menciptakan cakrawala, bulan dan bintang, darat dan perairan serta berbagai tumbuhan dan hewan di dalamnya. Setelah semuanya jadi barulah kemudian manusia diciptakan. Manusia dan ciptaan yang lain sama-sama merupakan karya kreatif Allah. Namun gambar-Nya diletakkan-Nya pada manusia, laki-laki dan perempuan. Sebagai gambar Allah, manusia pun diberkati-Nya untuk bertambah banyak, menaklukkan dan berkuasa atas seluruh ciptaan (ay. 28). Ini bukan berbicara tentang privilage manusia saja, tetapi juga kewajibannya. Manusia adalah makhluk yang mewakili Allah atas ciptaan yang lain, sehingga relasi manusia dan ciptaan lain bukan saja tentang hak pemanfaatan dan pengelolaan tetapi juga tentang tanggung jawab pemeliharaan.

Sayang sekali dalam konteks kehidupan manusia yang berdosa, manusia cenderung untuk mengubah dirinya dari ‘humo-sapiens’ menjadi ‘homo-deus,’ yakni para tuhan kecil yang berlaku sewenang-wenang terhadap alam ciptaan. Roda ekonomi tidak lagi digerakan dalam konteks pemanfaatan alam, melainkan tindakan-tindakan eksploitatif yang merusak bumi sebagai rumah bersama. Bukankah ini juga merupakan pelanggaran?

Sebagai manusia baru di dalam Yesus kita senantiasa mengupayakan keintiman relasi yang vertikal dengan Bapa kita, dan juga mengupayakan relasi horizontal yang harmonis dan konstruktif dengan sesama kita manusia. Namun tidak cukup sampai disitu. Relasi yang horizontal itu bukan saja soal kehidupan yang bermoral-etis antar-sesama manusia tetapi juga antar-sesama ciptaan. Iman kepada TUHAN harus berimplementasi dan ‘dirayakan’ dalam pelbagai aspek kehidupan, termasuk dalam relasi horizontal kita dengan alam. Apa peran anda (sebagai pelajar, pendeta, pekerja, dsb) dalam menjaga dan memelihara alam ciptaan? Sudahkah anda membuang sampah pada tempatnya hari ini? Sudahkah anda menggunakan air dan listrik sesuai kebutuhan? Mari merayakan hidup dalam laku spiritual ekologis! Hidup yang bermanfaat bagi semua ciptaan.

Dari Nothing Jadi Something

Kejadian 1:1 merupakan simpulan dari narasi penciptaan, yang menegaskan bahwa sejak semula Allahlah yang menciptakan langit dan bumi. Kemudian sepanjang ayat 2 sampai ayat 31 dijabarkan bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi tersebut, dari kekosongan tanpa bentuk (tohu wa-bohu) menjadi sungguh amat baik (tov). Luar biasa, bukan? Tak ada ilah seperti (selain) TUHAN!
Mungkin kita bisa berefleksi lebih jauh. Mengarahkan pandang dan membawa narasi Kejadian 1:1-31 dari konteks alam ciptaan ke dalam diri sendiri. Sebagai manusia yang rapuh, kekosongan seringkali memenuhi hati dan pikiran kita ketika ditinggal pacar, gagal nikah, diputus kontrak kerja, dijauhi teman, digosip, jatuh dalam dosa yang sama terus-menerus, atau ketika sekadar terlalu lelah dengan beban tugas dan pekerjaan. Dunia ji ini! kata orang Makassar. Memang tidak pernah lepas dari kancah pergumulan. Realitasnya bukan cuma tentang senang dan indah, tapi juga tentang duka dan air mata.

Adakah suasana hati dan pikiran anda sedang ‘kosong tanpa bentuk’ saat ini? Percayakah anda bahwa TUHAN yang sama juga sanggup mengubah hati dan pikiran anda yang tohu wa-bohu menjadi tov? Bukankah Dia yang omni-poten mampu mengubah kehidupan yang nothing jadi something?

Mari merayakan hidup dalam kancah duka. Menikmati penghiburan dan penyertaan TUHAN – sang Arsitek Ilahi – dalam kedisiplinan diri membaca firman dan berdoa. Jangan lupa: baca firman dan berdoa!

Penulis: Fajar Gumelar

Leave a Reply