Khotbah Kristen : Tungku Penderitaan | Ayub 4: 25. Hidup adalah anugerah yang Tuhan berikan. Kendari demikian, kadang kita berhadapan dengan rasa sakit dan penderitaan. Melaluinya kita menemukan salah satu pertanyaan paling sulit untuk dijawab yakni ‘mengapa Allah membiarkan rasa sakit dan penderitaan di dunia ini?’. Pertanyaan semacam ini telah menjadi pergumulan bagi banyak orang. Ada dua karya klasik yang berupaya mendekati pertanyaan ini. Pertama, karya Harold Kushner, “When Bad Things Happen to Good People” dan kedua C.S Lewis dalam “The Problem of Pain”. Sementara Elisabeth Kubler-Ross dalam “On Death and Dying”, merupakan karya sekuler lainnya.
Tungku Penderitaan
Tidak hanya tiga tokoh itu, pertanyaan klasik tentang rasa sakit dan penderitaan kembali digumuli oleh Timothy Keller dalam salah satu bukunya yang tergolong baru yakni Walking with God Through Paint and Suffering. Melalui karyanya, Keller berupaya menyatukan berbagai pertanyaan dan pengalaman rumit terkait dengan penderitaan. Ia mengeksplorasi masalah filosofis tentang penderitaan, pengajaran alkitab tentangnya, dan akhirnya pengalaman actual dalam menangani penderitaan. Hal ini menjadi sumber yang tidak terpisahkan bagi semua orang yang ingin mempersiapkan diri sendiri atau orang lain untuk menghadapi rasa sakit dan penderitaan yang tidak terhindarkan. Walaupun bagi Keller hidup itu tragis, namun tidak ada yang dapat terhindar dari masalah dan tidak mungkin mengatasinya sendiri. Kita membutuhkan bantuan dan bagi Keller, bantuan terbaik datang dari Tuhan. Namun, dalam kenyataan, terdapat dua respon manusia terkair penderitaan dan rasa sakit. Ada yang semakin dekat kepada Tuhan namun ada juga yang menjauh dari-Nya.
Keller memulai bukunya dengan pandangan tentang fenomena penderitaan (culture of suffering) dan berbagai cara yang telah di usahakan oleh berbagai budaya dan agama sepanjang sejaharah. Ia menemukan dalam budaya sekuler, banyak orang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Penderitaan dilihat sebagai sesuatu yang mencegah/menghambat kebahagiaan, bukan sebagai peluang yang dapat membawa hal positif atau berharga. Oleh karena itu, harus di hilangkan atau, setidaknya, dikendalikan dan diminimalkan. Keller juga melihat pergeseran dari kepercayaan bahwa Manusia diciptakan untuk melayani Tuhan menjadi keyakinan bahwa Tuhan menciptakan dunia untuk keuntungan manusia . Saat nenek moyang kita menerima penderitaan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang Tuhan berikan, sekarang kita percaya bahwa Tuhan berkewajiban mengatur segala sesuatu seperti yang kita inginkan dan itu berarti kita ingin agar Dia menghilangkan semua rasa sakit kita.
Banyak orang berpikir jika ada Tuhan dan Dia baik serta Mahakuasa, maka Ia akan mengakhiri semua penderitaan. Inilah persoalan bagi Timothy Keller. Menurutnya, kita memiliki Tuhan yang menderita untuk sesuatu yang tidak pantas Ia terima. Namun Dia menerimanya demi kita. Inilah yang membuat pemahaman Kristen tentang penderitaan berbeda dari semua pandangan dunia lainnya. Dalam cara ini pula Keller masuk dalam penjelasan mendalam tentang teologi Salib. Bagi Keller, keberadaan penderitaan tidak mengindikasikan bahwa Tuhan tidak mengasihi kita. Faktanya, karya Kristus di kayu Salib mewakili alasan utama untuk dapat memperayai Allah di tengah-tengah penderitaan kita. Allah menderita karena kita; karena kasih-Nya kepada kita.
Ada sebuah ketegasan dan keindahan dalam pemikiran keller bahwa kita seharusnya tidak pernah memandang penderitaan hanya sebagai sarana untuk memperbaiki diri sendiri melainkan melihatnya terutama sebagai cara untuk mengenal Tuhan dengan lebih baik. Inilah yang terjadi pada Ayub. Setelah percakapannya dengan Tuhan, ia menyimpulkan, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayub 42: 5). Inilah berkat terbesar dalam penderitaan. Semakin mengenalo Tuhan; semakin memperdalam relasi kita dengan-Nya. Pada akhirnya Keller menjelaskan bagaimana ita dapat berhasil berjalan bersama Tuhan dalam tungku penderitaan. Air mata, doa-doa, memercayai, berpikir, bersyukur, mencintai bahkan harapan menjadi bagian dalam tungku itu. Dia menjelaskan bahwa, Tuhan tidak pernah menjanjikan kita kehidupan yang bebas masalah. Tuhan berjanji bersama kita dalam tantangan. Baginya, berjalan dengan Kristus adalah proses yang panjang dan lambat. Senada dengan Serena Jones dalam Trauma and Grace (lih. Warta 13 Januari 2019) Keller mendorong kita untuk senantiasa memikirkan Yesus di kayu Salib. Kegelapan kita, kata Keller, dapat dinisbikan oleh kegelapan Kristus (saat kita menghayati narasi salib). Jalan seperti itu akan membantu kita menghindari keputus-asaan
Manusia adalah makhluk berbentuk harapan dan harapan orang Kristen terletak pada Yesus. Pada akhirnya, kata Keller, kita perlu menyadari bahwa Kristus mengambil satu-satunya jenis penderitaan yang dapat benar-benar menghancurkan kita, yaitu, dibuang dari Tuhan. Penderitaan tidak tertahankan jika kita tidak yakin bahwa Tuhan adalah untuk kita dan bersama kita!
Pdt. Semuel Akihary