Renungan Matius 7: 7 | Buah Pertobatan. Salah satu episode film komedi di channel YouTube ‘Jejak Si Bungul’ menampilkan suatu adegan dimana seseorang memetik buah kelapa yang keluar dari pohon pisang. Buah kelapa tentu tidak muncul dari pohon pisang. Tetapi inilah tujuannya. Pemilik channel tersebut menciptakan fenomena aneh (yang tentu saja rekayasa) ini untuk memantik tawa dari penontonnya. Hmm… agaknya ide pemilik channel tersebut dapat menjadi satire untuk kehidupan kita. Bukankah hidup orang percaya juga digambarkan seperti pohon? (Bnd. Mat. 7:17). “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka,” kata Yesus. Jika orang jahat menghasilkan buah-buah kejahatan dalam hidupnya, maka orang Kristen – yang telah bertobat – tentu harus menghasilkan buah-buah pertobatan itu, bukan? Bacaan hari ini hendak menekankan dua buah pertobatan yang seharusnya terpancar keluar dari kehidupan umat Allah yang sejati.
MENELUSUR TEKS
Pengajaran Yesus yang dimunculkan di pasal 19 ini disampaikan-Nya di daerah Yudea. Kedatangan-Nya disambut oleh orang banyak yang hendak menerima mukjizat kesembuhan dari-Nya. Tapi kemudian datang pula orang-orang Farisi untuk mencobai Dia dengan berbagai pertanyaan. Persoalan yang mereka angkat kali ini adalah salah satu isu penting dalam rumah tangga, yakni perceraian. Yesus pun menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Setelah itu dalam teks diceritakan bahwa orang kemudian membawa anak-anak mereka kepada Yesus untuk didoakan oleh-Nya (Mat. 19:13). Agaknya kebanyakan orang yang hadir disitu dan mendengar pengajaran Yesus adalah orang-orang yang telah berkeluarga dan memiliki anak-anak. Sepertinya orang-orang tersebut tergugah dengan pengajaran Yesus tentang rumah tangga dan menghendaki supaya anak-anak yang dikaruniakan Allah dalam rumah tangga mereka diberkati oleh Tuhan, sehingga keluarga mereka menjadi keluarga yang terberkati.
Lepas dari asumsi-asumsi itu, yang mengejutkan adalah respon para murid Yesus yang menolak bahkan memarahi orang-orang yang membawa anak mereka kepada Yesus itu. Aneh. Apakah anak-anak itu mengganggu? Ataukah dalam pandangan para murid anak-anak itu tidak penting karena mereka masih kecil? Kata anak dalam teks ini berasal dari kata Yunani paidion, yang menunjuk kepada anak balita, atau mungkin lebih besar. Berbeda dengan istilah bayi, yang diambil dari kata Yunani brephos. Walaupun demikian, anak-anak – baik paidion maupun brephos – tetaplah manusia-manusia yang rapuh dalam tatanan masyarakat. Mereka masih bergantung penuh kepada orang tua, dan dalam pandangan para murid waktu itu, mereka kurang penting sebagai sasaran pelayanan Yesus. Atas dasar pemikiran itu wajar kalau secara spontan mereka memarahi orang tua yang membawa anak mereka kepada Yesus – menambah pekerjaan Yesus dengan sesuatu yang kurang penting. Ah, mereka mungkin belum tahu raanya berkeluarga dan punya anak.
DUA BUAH UTAMA
Menarik bahwa respon Yesus justru bertentangan dengan respon para murid. Ketika para murid menyambut anak-anak dengan penolakan, Yesus justru menyambut mereka dengan kegirangan. Itulah sebabnya Ia menegur para murid untuk tidak menghalangi anak-anak tersebut datanga kepada-Nya. Bahkan, Yesus menyampaikan deskripsi dari orang-orang yang empunya Kerajaan Surga (orang yang bertobat/umat Allah): yaitu orang-orang yang menjadi seperti anak kecil? Tampaknya ada hal eksistensial dari pribadi anak-anak kecil yang Yesus mau untuk diikuti/dihidupi oleh umat-Nya, sebagai buah dari kehidupan yang baru di dalam Dia.
Pertama, adalah bahwa anak-anak itu dianggap ‘kurang penting.’ Ini tidak berarti bahwa orang percaya tidak boleh menjadi orang besar dan berperan penting dalam tatanan masyarakat. Maksud refleksi yang pertama ini hendak mengingatkan supaya orang-orang percaya menyadari dirinya sebagai orang yang ‘kurang penting’ sama sekali. Artinya menyadari kerapuhan diri sebagai manusia berdosa, sehingga dengan demikian orang-orang percaya ‘kehabisan alasan’ untuk memegahkan diri.
Tidak ada yang perlu dibanggakan dari hidup ini. Daud dalam refleksinya menulis, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang yang Engkau tempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia, sehingga engkau mengindahkannya?” (Mzm. 8:4-5). Kalau bukan karena Allah, sungguh hidup manusia tidak berarti. Kesadaran diri sebagai pribadi yang ‘kurang penting’ ini membawa orang percaya pada kesyukuran terdalam akan Allah yang sungguh memelihara dan menyelamatkan. Allah yang terlebih dahulu sungguh-sungguh mengasihi umat-Nya. Kesyukuran yang terdalam tersebut juga akan membawa orang percaya pada kehidupan yang konstruktif, yang merangkul dan membangun sesama, sebagaimana yang lebih dulu Allah lakukan.
Kedua, bahwa anak-anak dalam kerapuhannya senantiasa bergantung pada orang tuanya. Bukankah Allah – oleh pengorbanan Yesus – telah mengangkat setiap orang percaya sebagai anak-anak-Nya? Maka dari itulah orang-orang percaya dapat menyapa-Nya sebagai Bapa (Gal. 4:5-6). Alih-alih frustasi dengan realitas kehidupan yang rapuh, orang percaya justru akan bermegah karena Allah tempat berharap sepenuhnya bukanlah Allah yang rapuh. Dia adalah Allah yang perkasa, Allah pencipta, Tuhan yang benar. Realitas kehidupan yang pelik memang tetap dihadapi dari sehari ke sehari, tetapi Allah yang adalah sumber kekuatan akan senantiasa menopang hidup mereka yang berserah dan bersandar penuh pada-Nya. Apa yang menjadi pergumulan hidupmu saat ini? Karier? Asmara? Pendidikan? Hubungan suami-istri? Entahlah. Sadarlah bahwa kita memang rapuh. Tapi jangan berhenti disitu! Sadarlah juga bahwa Bapa kita adalah Allah yang kuat. Dalam pimpinan-Nya kita pun akan kuat menghadapi konteks pergumulan masing-masing.
Mari menampilkan buah pertobatan dan kehidupan yang baru di dalam Kristus. Tetap rendahkan diri dihadapan-Nya dan bergantung hanya kepada-Nya. Tuhan pencipta semesta, yaitu Bapa kita, akan senantiasa memelihara hidup kita. Amin.
Penulis: Fajar Gumelar