Renungan-Kejadian-4-23-24-Nyanyian-Lamekh-di-Abad-XXI-2
Renungan-Kejadian-4-23-24-Nyanyian-Lamekh-di-Abad-XXI-2

Renungan Kejadian 4: 23-24 | Nyanyian Lamekh di Abad XXI

Renungan Kejadian 4: 23-24 | Nyanyian Lamekh di Abad XXI. Alkisah ada seorang gembala yang saban hari membawa domba-dombanya merumput di tepi bukit. Lelah mengawasi domba yang sedang merumput, ia pun mengisi kejenuhan dengan mencari-cari perhatian.

Dia berteriak keras-keras minta tolong seolah ada serigala yang hendak memangsa domba miliknya. Rakyat yang mendengar teriakannya pun datang menolong; tetapi si gembala justru tertawa terbahak-bahak. ‘Prank’-nya berhasil! Merasa terhibur, si gembala mengulangi perbuatannya.

Rakyat yang kesal tidak mau lagi membantunya jika dia dalam kesulitan. Benar saja! Setelah kejadian itu beberapa ekor serigala yang lapar datang menghampiri kawanan domba miliknya.

Dengan panik dia berteriak minta tolong, tetapi tidak ada seorang pun yang datang menolongnya. Lisan yang tidak bertanggung jawab rupanya dapat membawa petaka.

Kurang lebih demikianlah pesan yang terkandung dalam dongeng ini. Untuk itu sangat penting menjaga lisan. Bukan saja karena soal pengaruhnya, tetapi juga bahwa lisan mengungkapkan identitas penuturnya.

Nyanyian Lamekh di Abad XXI

Mengenai hal ini, nyanyian Lamekh sekali lagi menjadi awasan bagi kita. Dengan mantap Lamekh menyombongkan diri dengan lisannya – terucap dalam sebuah nyanyian, demikian: “Ada dan Zila, dengarkanlah suaraku: hai isteri-isteri Lamekh, pasanglah telingamu kepada perkataanku ini: Aku telah membunuh seorang laki-laki karena ia melukai aku, membunuh seorang muda karena ia memukul aku sampai bengkak; sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” Bukan sembarang nyanyian, ini adalah nyanyian yang didasarkannya pada firman Tuhan kepada Kain, leluhurnya (Kej. 4:15).

Nyanyiannya itu adalah wujud ketidaksalehan, pembangkangan dan kesombongannya dalam menyalahgunakan firman Tuhan. Kejahatan pun bergerak secara spiral ke bawah, kepada keturunan-keturunan selanjutnya, sampai ‘menyesallah TUHAN’ dan menurunkan penghakiman. Lisan Lamekh yang jahat menunjukkan identitasnya sebagai orang jahat. Dan melalui lisan dan contoh perbuatan, kejahatan diwariskan kepada generasi yang akhirnya berbuah pada penghakiman.

Bukankah nyanyian Lamekh ini juga telah diaransemen dan dinyanyikan kembali di abad 21 ini?

Seberapa sering dan berapa banyak orang menyalahgunakan firman Tuhan untuk membenarkan perampokan dalam gereja?

Seberapa sering dan berapa banyak orang menyalahgunakan firman Tuhan untuk mendiskriminasi sesama dan merusak lingkungan?

Sehingga akhirnya firman Tuhan yang adalah “pelita bagi kakiku” (Mzm. 119:105) telah berubah menjadi kobaran api yang menghanguskan kemanusiaan.

Pada akhirnya, narasi ini mengajak kita – komunitas umat Allah – untuk menjaga lisan dan menunjukkan kualitas hidup sebagai abdi-abdi TUHAN. Mari menjaga lisan, hidup dalam firman dan membawa pelita kebenaran yang menerangi liyan, lingkungan dan peradaban.

 

Penulis: Fajar Gumelar

Leave a Reply