Renungan Matius 5: 17-48 | Menghancurkan Kekakuan, Melampaui Kesetimbangan. Di akhir khotbah-Nya tentang hukum Taurat, Yesus menegaskan suatu perintah, “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (ay. 48).
Siapakah yang telah melaksanakan hukum sedemikian rupa sehingga ia menjadi sama seperti Bapa? Bahkan kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sebagai para penyelidik, pembelajar dan pengajar hukum telah dikecam oleh Yesus (ay. 20).
Yesus tak bermaksud membuat pendengar-Nya frustasi dengan tuntutan ini. Kata “sempurna” diterjemahkan dari kata Yunani, teleios, yang dapat berarti “lengkap” atau “dewasa.”
Kelengkapan atau kedewasaan inilah yang dijelaskan oleh Yesus dalam 6 antitesis sepanjang ayat 21-47, yang jauh melampaui idealisme dan bertolak belakang dengan kehidupan para ahli Taurat dan orang Farisi.
Ada setidaknya dua poin besar yang dapat dilihat dari penjelasan tersebut. Pertama, kehidupan yang melampaui kekakuan formulasi agamawi (ay. 21-37).
Melalui contoh-contoh penerapan hukum yang disampaikan-Nya, Yesus menyapa dan mengajak pendengar saat itu (mereka), dan pendengar masa kini (kita), untuk menengok sampai ke kedalaman hati masing-masing yang menjadi penyebab dari setiap perbuatan. Kedua, kehidupan yang melampaui hukum kesetimbangan (ay. 38-47).
Hukum kesetimbangan diberikan supaya keadilan ditegakkan didalam komunitas umat Allah. Siapa yang merusak harus bertanggung jawab atau mengganti rugi sesuai dengan yang dirusaknya tersebut (ay. 38). Tetapi seringkali, ketika seseorang menampar kita sekali, kita menamparnya berkali-kali.
Prinsip hukum kesetimbangan adalah keadilan, bukan balas dendam. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang dicita-citakan melalui hukum kesetimbangan harus didasarkan atas kasih yang merangkul sesama, bukannya politik kepentingan yang mengeksklusi pihak lain dan memandang diri (kelompok) sendiri lebih superior (ay. 43-47).
Amanat kehidupan teleiotik (lengkap/dewasa/sempurna) bukanlah amanat untuk menjadi sempurna (tanpa dosa) seperti Bapa secara absolut, tetapi meneladani-Nya dalam relasi dengan orang lain. Ada setidaknya 3 implikasi yang patut diterapkan dalam kehidupan sebagai umat Allah, baik personal maupun komunal.
1. Hidup yang berdampak dari dalam ke luar
Koreksi yang Yesus berikan berkaitan dengan penerapan hukum Taurat adalah supaya ketaatan yang ditunjukkan bukanlah formalitas agamawi yang kaku, melainkan ketaatan yang bersumber dari hati yang tulus. Dengan kata lain, kehidupan yang berdampak dari dalam ke luar. (Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak hidup dalam prinsip ini). Dalam setiap “taat” anda, apakah orientasi anda? Keteladan pada Allah Bapa yang pengasih, atau keandalan dan kehormatan diri sendiri?
2. Hidup dalam keintiman dengan Bapa
Kehidupan teleiotik yang meneladani Allah Bapa tidak mungkin dimiliki tanpa keintiman dengan Dia! Anda tak bisa mendeskripsikan Soekarno dengan baik tanpa pernah mengalami perjumpaan secara langsung dengannya, bukan? Tak cukup mengumpulkan informasi tentang Bapa; anda harus berjalan bersama-Nya. Tapi jangan mendambakan naik turun surga dan ngopi bareng Yesus dalam mimpi anda malam ini. Bukalah Alkitabmu, bacalah dan setialah berdoa!
3. Hidup lengkap dalam persekutuan
Amanat hidup lengkap seperti Bapa disampaikan kepada orang banyak/komunitas umat Allah [ay. 48, kata esesthe (jamak)]. Hidup lengkap dalam komunitas menyangkut dua hal penting. Pertama, kehidupan persekutuan yang saling membangun, saling menopang dan saling menasihati untuk terus hidup dalam keteladanan kepada Bapa. Kedua, kehidupan persekutuan yang dirasakan dampaknya oleh komunitas lain di sekitarnya. Dengan demikian, gereja Tuhan bukan hanya bertumbuh dalam kontemplasi tetapi juga berbuah dalam aksi. “People don’t care how much you know until they know how much you care” (Theodore Roosevelt).
Aesop, seorang pendongeng ulung di Yunani mengamati adanya kelicikan yang ditampakkan sebagian warga masyarakat pada masanya. Ia pun memberikan nasihat melalui sebuah dongeng, sebagai berikut:
Pada suatu subuh, seeokor serigala mengendap-endap ke kandang ayam seorang petani. Karena sudah kehilangan beberapa ekor ayamnya, sang petani memasang jerat di pintu kandang ayamnya. Sang serigala terjerat. Kakinya terlilit tali yang tidak dapat dilepaskannya. Usahanya melepaskan diri menyebabkan seekor ayam jantan terbangun lebih awal dari biasanya. Ia mendekat hingga jarak aman. Melihat musuhnya mendekat, sang serigala berpikir adanya peluang kecil baginya untuk menyelamatkan diri. Katanya dengan berbisik: “Maaf, saya telah membangunkanmu. Saya sedang dalam perjalanan mengunjungi anggota keluarga saya yang sakit, dan tanpa sengaja kakiku terjerat disini. Tolong, jangan ceritakan kepada siapa-siapa agar tidak ada yang terusik tidurnya di pagi buta ini.” Sebuah nasihat yang penuh keprihatinan kepada makhluk hidup lain. Licik! (Wim Poli, Facebook, 4 Desember 2020).
Alih-alih menjadi serigala, Yesus memanggil kita untuk menjadi kawanan domba gembalaan-Nya, bukan?
Penulis: Fajar Gumelar