Renungan 1 Raja-Raja 17: 7-16 | Merajut Asa, Merengkuh Liyan. Sebuah cerita fiksi beredar secara anonim di Facebook beberapa waktu lalu. Dengan sedikit pengubahan, saya ingin kembali menyajikannya kepada pembaca, demikian:
Seorang pengemis datang meminta makanan kepada seorang pemuda Kristen. Si pemuda mempersilahkan pengemis tersebut untuk masuk melalui pintu belakang, mempersilahkannya duduk di lantai dan menunggu, sementara si pemuda masuk ke dapur untuk mengambil sisa makanannya semalam.
Si pemuda pun membawa makanan dan berkata, “Ayo berdoa. Ulangi kata-kata saya ya: Bapa kami yang di surga.” Si pengemis berkata, “Bapamu di surga.” Si pemuda berkata, “Tidak, katakan: Bapa kami di surga.” Si pengemis kembali berkata, “Bapa kamu di surga.” Si pemuda pun kesal dan menegur si pengemis. Dengan pelan si pengemis menjawab, “Pak, jika saya mengatakan Bapa kami, maka kita berdua menjadi saudara.
Jika kita adalah saudara, maka anda akan mengundang saya melalui pintu depan, bukan pintu belakang; jika kita adalah saudara, maka anda akan meminta saya untuk duduk di meja makan anda, bukan di lantai; dan jika kita adalah saudara, anda juga tidak akan memberi saya makanan sisa. Pak, saya berpikir bagaimana mungkin kita adalah anak dari Bapa yang sama? Dia mungkin adalah Bapamu. Tapi Dia tidak bisa menjadi Bapa kita sehingga saya harus berdoa bersamamu dan menyapa-Nya sebagai Bapa kami.”
Dalam fiksi ini ditunjukkan bagaimana perjumpaan dengan si pengemis menjadi tak harmonis dikarenakan perlakuan si pemuda yang tidak mencerminkan penerimaan yang baik sama sekali. Maksud hati merengkuh liyan (the other), namun disaat yang sama justru menegaskan pembedaan dalam perlakuan.
Hal ini seringkali muncul dalam diri kita sendiri. Walaupun kita adalah makhluk sosial, tetapi dalam perjalanan relasi sosial tersebut masing-masing individu mengedepankan eksistensinya. Tidak heran jika liyan (the other) dianggap bukan bagian dari diri individu (di luar individu), yang kemudian berdampak pada pemberian nilai dan perlakuan terhadap satu sama lain.
Namun Alkitab memberikan konsep yang berbeda. Dalam liyan (the other) kita dapat menemukan eksistensi diri kita sendiri, merajut asa bersama dan menemukan makna hidup yang lebih dalam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman perjumpaan Elia dan janda di Sarfat.
Atas perintah Tuhan, Elia beranjak meninggalkan sungai Kerit yang telah kering dan pergi ke Sarfat, dimana disana hidupnya akan dipelihara oleh Tuhan melalui seorang janda (ay. 9). Hal ini tentu saja diluar kebiasaan. Kitab suci Perjanjian Lama banyak menyebut tentang janda sebagai kaum marginal yang harus diperhatikan (mis. Kel. 22:22; Ul. 14:28-29). [Alih-alih menggeneralisasi, ayat-ayat tersebut hanya menyajikan fakta di masyarakat bahwa kebanyakan janda mengalami kesusahan secara finansial.]
Maksudnya, kebanyakan janda hidup miskin dan perlu dibantu, sehingga tidaklah bijak untuk meminta pertolongan dari mereka yang juga sedang menderita. Apakah janda yang ditemui Elia adalah janda konglomerat? Bukan! Janda yang ditemui Elia di Sarfat adalah seorang janda yang sangat melarat. Tinggal bersama dengan anaknya, mereka bahkan hanya memiliki sedikit tepung dan minyak untuk sekali makan (ay. 11-12).
Dalam sengsara yang dirasakan oleh Elia setelah berjalan jauh, Elia tetap berpegang teguh pada firman Tuhan dan dengan setia menyampaikannya kepada janda tersebut (ay. 13-14). Dalam sengsara yang dirasakan janda tersebut karena kekeringan, dia percaya pada firman Tuhan yang disampaikan Elia dan membagi makanan yang sedikit itu (ay. 15-16). Dalam sengsara yang masing-masing dirasakan oleh Elia dan janda di Sarfat, mereka merasakan pemeliharaan Tuhan yang ajaib atas eksistensi (baca: kehidupan) mereka masing-masing.
Menyorot kehidupan janda di Sarfat, ada dua hal penting yang patut dipelajari darinya:
1. Rengkuhan yang berlandaskan firman
Firman Tuhan adalah landasan utama bagi janda di Sarfat ini untuk “membuka lengan” merengkuh liyan (the other) yang sama menderitanya dengan dia. Firman Tuhan yang datang menyapa si janda di situasi krisis membuatnya “menyerah” dan dengan rendah hati beranjak dari keputusasaan hidupnya kepada janji pemeliharaan Tuhan yang mengatasi nalar dan logikanya. Oleh ketaatan ini, si janda di Sarfat bersama dengan anaknya diselamatkan dari dua fase krisis yang mereka alami, yaitu kelaparan dan sakit (ay. 12, 17).
Bagaimana dengan anda? Apakah anda memandang liyan (the other) sebagai bagian dari diri anda, yang dicipta oleh Esa yang sama? Sebagai anak-anak Bapa surgawi apa peran yang anda mainkan dalam relasi sosial di lingkungan anda, bahkan dalam situasi krisis? Faktor apa saja yang dapat menghalangi anda melakukannya? Mari renungkan!
2. Rengkuhan yang membagi kehidupan
Karena iman, si janda di Sarfat bersedia membagikan nafkahnya kendati pun sangat sedikit. Janda di Sarfat itu membagikan apa yang dimilikinya, bukan apa yang tidak dipunyainya. “Merengkuh liyan” memang bukan semata-mata berempati, tetapi juga mengulurkan tangan untuk membagi kehidupan dengan mereka. Kehidupan anda, bukan kehidupan tetangga anda! Jika si janda di Sarfat membagi nafkahnya, mungkin anda dapat membagi ilmu pengetahuan yang anda miliki kepada orang lain yang krisis ilmu. Atau skil keterampilan, kepada mereka yang tidak terlatih dan terampil. Apa saja, yang anda mampu bagikan dengan orang lain, demi menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Apa yang anda mau bagikan dari hidup anda kepada liyan (the other)?
Hidup bukan soal aku, kamu atau mereka, tetapi KITA. Oleh karena itu sebuah rengkuhan akan menerobos pembatas-pembatas antara asa-ku, asa-mu, atau asa-mereka, menjadi ASA KITA BERSAMA. Seperti yang diungkapkan oleh Miroslav Volf:
“Dalam sebuah rengkuhan aku membuka lenganku untuk menciptakan ruang di dalam diriku sendiri bagi orang lain. Membuka lengan adalah tanda bahwa aku tidak ingin hanya menjadi diriku sendiri, sebuah undangan bagi yang lain untuk datang dan merasa kerasan denganku. Dalam sebuah rengkuhan aku juga menutup lenganku melingkari yang lain. Menutup lengan adalah tanda bahwa aku ingin orang lain untuk menjadi bagian dari diriku, orang lain memperkaya diriku. Dalam keadaan saling merengkuh, tidak ada yang tetap sama karena masing-masing saling memperkaya satu dengan lainnya, tetapi keduanya tetap menjadi diri mereka sendiri.” Tuhan Yesus memberkati saudara-saudari.
Penulis: Fajar Gumelar