Kerikil-Kerikil-Tajam-Dalam-Pernikahan
Kerikil-Kerikil-Tajam-Dalam-Pernikahan

Kerikil-Kerikil Tajam Dalam Pernikahan

Kerikil-Kerikil Tajam Dalam Pernikahan. Gembala gereja kami mengirimkan sebuah undangan retreat bagi pasangan-pasangan yang telah menikah. Entah mengapa dari sekian banyak pasangan muda kami yang terpilih. Pernikahan kami belum lagi genap enam bulan, segalanya berlangsung baik. Istri saya sudah hamil anak kembar kami yang baru kami ketahui lewat USG di bulan ke empat. Awalnya kami menerima undangan itu semata-mata ada rasa segan dengan beliau, kami takut dibilang tidak tahu berterima kasih.

Akan tetapi keputusan mengikuti retreat itu menjadi salah satu keputusan penting dalam kehidupan pernikahahan kami. Sedikit bercerita, Istri saya bernama Novy, merupakan teman lama saya, teman satu sekolah minggu dulu sebelum saya pindah ke gereja orang tua dan lebih dari 20 tahun kami tidak pernah bertemu. Sekali waktu teman lama saya tiba-tiba menghubungi saya dan mengatakan ingin mengajak saya dan teman Novy itu makan, saya pikir ini undangan makan biasa tetapi belakangan saya sadar dia ingin mencomblangi kami karena mungkin usia kami sudah kepala tiga dan masih sibuk-sibuknya dengan pekerjaan.

Seminggu setelah perkenalan kami banyak chatting atau telpon-telponan, waktu itu saya berdoa kepada Tuhan minta tuntunan untuk menjadikan Novy pacar saya. Singkat cerita gayung bersambut dan sekali waktu saya berkata ingin berkomitmen agar hubungan kami ini bisa sampai ke pernikahan. Novy menerima ajakan saya dan kami sungguh-sungguh berkomitmen untuk menikah. Segalanya berlangsung lancar.

Setelah Jedidiah dan Noah anak kembar kami lahir, masalah mulai muncul satu demi satu. Di mulai saat istri saya meminta untuk di rawat di rumahnya karena merasa tidak enak menyusahkan mertua katanya atau dengan kata lain tidak betah. Sementara disisi lain orangtua saya juga tidak setuju kalau bayi yang belum genap sebulan itu harus di bawa kesana. Perang dingin dan bertengkaran semakin berlarut-larut, karena kasihan saya membiarkan istri saya dijemput pada suatu sore di bulan Februari.

Mobil yang ditumpangi mama mertua dan ipar belum lagi parkir, bapa saya berteriak keras dari luar rumah, kalau cucu-cucunya di bawa pergi maka mereka tidak boleh menginjakan kaki dirumah ini lagi. Saya bingung, kalut dan marah. Dengan berat hati saya memilih membiarkan anak-anak itu dibawa pergi dengan pertimbangan kesehatan fisik dan psikologis Novy.

Setelah kejadian itu pertengkaran demi pertengkaran terus berlanjut sebagai pasangan muda kami sama-sama keras kepala lagipula mengurus anak kembar kami sangat menguras energi kami belum lagi biaya susu formula karena ASI istri saya tidak keluar,popok bayi, biaya dokter, biaya hidup, sewa rumah, bayar ini dan itu membuat saya terlilit hutang yang cukup besar. Gaji saya hanya cukup untuk membayar hutang, saya minus dan kalang kabut cari pekerjaan serabutan apa saja yang bisa saya kerjakan karena istri saya resign dari pekerjaannya kira-kira ketika usia anak-anak lima bulan.

Suatu malam dengan tertunduk lesu menyerah dan buntu pandangan saya tiba-tiba mengarah ke buku kecil diatas rak buku kecil dengan tulisan kerikil-kerikil kecil dalam pernikahan tulisan David Egner membawa ingatan saya pada beberapa Firman Tuhan dan kenangan waktu retreat pasangan di Puncak :

1. Siapa mendapat istri, mendapat sesuatu yang baik, dan ia dikenan TUHAN (Ams 18:22TB).

Bersyukur bahwa kalau kita mendapat pasangan hidup maka sebetulnya kita mendapat kado dari Tuhan dan perkenanan-Nya dinyatakan dalam hidup kita. Saya mulai bertekad kalau saya sesungguhnya mendapat berkat bukan beban apalagi kutuk.

2. Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu (Amsal 16:3TB)

Saya menyadari bahwa selama ini saya mengandalkan kekuatan sendiri dan berjalan tanpa melibatkan Tuhan. Saya berkata Tuhan sekarang setiap hal yang ingin saya kerjakan atau lakukan biarlah saya belajar menyerahkan terlebih dahulu kepada-Mu baik itu pekerjaan, cara mengurus anak, atau komunikasi yang baik dengan pasangan.

3. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.(! Kor 13:4aTB)

Ketika ketika mengasihi pasangan kita, maka kita bersikap sabar terhadapnya. Belajar mendengar dan rela memahami serta merendahkan diri menjadi hal yang harus saya lakukan.

Tiga hal ini diam-diam saya kerjakan hari demi hari. Saya mulai dengan sikap hati belajar memahami, mendengar dan tidak menuntut. Istri saya melihat ada perubahan dalam keluarga kami dan dia pun berubah. Perubahan pasangan ke arah yang positif menghasilkan atmosfir yang baik dalam kontrakan tiga petak yang kami tinggali. Sekarang setiap masalah dan kekurangan kami bawa dalam mezbah keluarga yang kita buat sederhana. Saling mendoakan dan merendahkan diri menjadi kunci pemulihan pernikahan kami. Tiga tahun kemudian kami bisa tinggal dirumah yang kami miliki dengan layak, seluruh hutang-hutang terlunasi dan ada perkembangan baik dalam pekerjaan saya. Allah sungguh baik.

Tuhan tidak menjanjikan kemudahan dalam pernikahan, tetapi Ia sungguh hadir bersama kita untuk mengalami kehadiran-Nya. Seperti Yesus mengubah air yang tawar menjadi anggur yang manis supaya tuan rumah yang mengundangnya ke pesta di Kana tidak menjadi malu, demikian ketika rumah tangga mengundang Yesus masuk kedalamnya Ia pun akan memulihkan dengan anggur sukacita pernikahan. Immanuel!

 

Penulis: Ayub Simanjuntak

Leave a Reply