Khotbah Kristen | Trauma dan Anugerah | Matius 11: 28. Hidup manusia tidak lepas dari trauma, luka batin atau kepahitan. Setiap peristiwa, pengalaman bersama orang lain atau situasi tertentu dapat membawa trauma dalam kehidupan seseorang. Ada yang memiliki kemampuan untuk menanganinya, namun ada yang membutuhkan bantuan pihak lain. Ada juga yang terjebak dalam trauma dan luka itu bertahun-tahun. Bahkan hal itu memengaruhi pengembangan diri dan perjalanan hidup selanjutnya.
Apakah trauma itu? Menurut American Psychological Association, Trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa mengerikan seperti kecelakaan, pemerkosaan, atau bencana alam. Segera setelah peristiwa/kejadian itu, kejutan (shock) dan penyangkalan (Denying) adalah hal yang biasa. Reaksi jangka panjang dapat berupa emosi yang tidak dapat diprediksi, kilas balik terhadap kejadian, ketegangan relasi bahkan gejala fisik seperti sakit kepala atau mual. Meskipun situasi ini normal, beberapa orang mengalami kesulitan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Kalau demikian, bagaimana seseorang menyikapi trauma dalam hidup?
Serebe Jones, professor dan teolog dari Union Theological Seminary, melalui bukunya trauma and Grace, menolong kita untuk menyambut kuasa penebusan Allah ketika mengalami trauma dalam kehidupan. Melalui Trauma and Grace, Jones mencoba untuk mengatasi dua klaim iman yang saling terkait: pertama, bahwa dybua gabcyr ikeg jejerasan dan disrusak oleh bahaya yang ditmbulkan satu sama lain, dan kedua, bahwa Tuhan mencintai dunia dan menginginkan agar penderitaan dipenuhi oleh harapan, cinta, dan Anugerah. Karya Jones ini diambil dari pengalaman pribadi serta penelitiannya dalam studi tentang trauma, ilmu social, dan sumber-sumber teologis tradisional untuk menjawab dua pertanyaan mendasar: “Bagaimana orang-orang yang hati dan pikirannya telah dilukai oleh kekerasan, datang untuk merasakan dan mengetahui kuasa penebusan dari anugerah Allah?”. Lebih jauh lagi, “Bagaimana mungkin merasakan Anugerah Tuhan dan kehadiran-Nya ketika kapasitas untuk merasakan telah ditutup?”
Jones menjawab pertanyaan itu dengan tiga cara. Pertama, perlunya gereja dan teolog mengatasi masalah trauma, baik sebagai indentitas persekutuan (komunal kolektif) maupun sebagai individu. Persoalan trauma individu perlu dilihat sebagai masalah bersama; sebagai masalah kita — masalahku, masalah gereja, bahkan masalah Tuhan. Itulah yang dilakukan oleh persekutuan. Jones mengangkat sebuah kebenaran dari masalah ini adalah bahwa ketika seseorang melihat ke dalam jemaat banyak trauma yang dialami orang-orang dalam hidup mereka dan bahwa trauma itu berada dalam kegelapan, tidak terucapkan dan diabaikan.
Dengan melibatkan teori trauma dan wacana teologis dalam kaitan dengan pikiran yang trauma, Jones berupaya mewujudkan pemulihan melalui seruan imajinasi yang dibentu oleh anugerah/rahmat. Dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan semua orang untuk mewujudkan penyembuhan dan berani menceritakan kembali kisahnya. Kedua, refleksi teologis tentang salib dan narasi hasrat dalam teori trauma. Salib itu paradox karena memegang di dalamnya apa yang mengerikan sekaligus membebaskan, indah sekaligus menjijikan. Melalui perjuampaan dan tanggapan terhadap hal-hal traumatis, Jones akhirnya diperhadapkan pada persoalan bagaimana salib bisa diberitakan ketika salib dan narasi hasrat meninggalkan kita dalam keheningan?
Baginya boleh jadi keheningan adalah akhir yang tidak memuaskan. Mungkin keheningan adalah akhir yang diperlukan karena mengingatkan kita pada keterbatasan Bahasa dan bahwa mungkin ada nilai dalam keheningan. Ketiga, Jones beralih pada tema Anugerah dan dosa. Di sini ia mendefinisikan dosa sebagai sebuah kegagalan untuk berpartisipasi dalam kemuliaan Allah. Dalam kaitan itu, secara khusus ia mengangkat isu seputar trauma feminis atau trauma yang dialami oleh kaum perempuan.
Pada akhirnya Trauma and Grace melihat pandangan lain pada salib. Namun kali ini, paradoks salib bukanlah yang mengejutkan; melainkan menemukan salib melalui berkabung dan bertanya-tanya. Inilah sifat mendalam dari salib saat kita menyadari bahwa kita adalah orang berdosa dan suci, baik yang terluka maupun yang disembuhkan, baik yang hancur maupun yang diberkati — bukan bahwa kita menjadi lebih baik atau lebih buruk diantara keduanya, tetapi kita memang seperti itu. Dalam keajaiban dan duka inilah secara sadar kita dapat berdiri dengan berani di atas janji bahwa Anugerah Tuhan cukup kuat untuk semua kekerasan dan trauma.
Sebagai gereja dan umat beriman kita didorong untuk benar-benar berpartisipasi dalam kehidupan satu sama lain, untuk melihat ibadah dan pesekutuan dengan mata baru dan memahami bagaimana hal itu dapat dilihat dan diterima oleh mereka yang trauma. Melaluinya kita sadar bahwa tidak ada masalah sebagai masalah individu melainkan masalah komunitas/persekutuan.
Ingatlah, setiap trauma dapat dipulihkan dalam anugerah penebusan Kristus. Kehadiran komunitas dan individu pun dapat menjadi jalan anugerah pemulihan. Yang dibutuhkan dari kita adalah mengakui adanya trauma, menerima kenyataan itu, berani mengisahkannya kembali lalu datang dan menyambut anugerah penebusan Kristus yang memulihkan. Saya jadi teringat perkataan Yesus dalam matius 11:28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu”. Ia telah membuka dan menawarkan jalan anugerah itu!
Pdt. Semuel Akihary