Renungan Matius 2: 16-18 | Allah Beserta Kita. Jauh sebelum kelahiran Yesus, bangsa Israel telah mengalami pembuangan, perbudakan dan penderitaan yang sangat lama, sebagai penghukuman atas ketidaktaatan mereka kepada Allah. Dalam masa-masa kesengsaraan yang terus berlanjut itu tak ada pewahyuan dari Allah.
Dalam masa keheningan (periode intertestamental) itu Israel seakan “berjalan dalam kegelapan”. Setelah sekian lama, tiba-tiba datanglah malaikat Tuhan menyampaikan suatu kabar yang memecah keheningan itu, bahwa Mesias akan lahir dari rahim Maria. Sebuah pengharapan baru muncul! Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan itu telah melihat terang yang besar, sebagaimana yang dinubuatkan nabi Yesaya (Yes. 9:1).
Sang Anak yang dijanji pun lahir. Tetapi kelahiran-Nya ini turut diwarnai dengan penderitaan, kesukaran, air mata bahkan kematian. Kesukaran itu diawali dengan kegalauan Yusuf (Mat. 1:18-19). Kita dapat mencoba menerka kebahagiaan Yusuf karena pertunangannya dengan Maria.
Jika dibawa dalam konteks milenial, kebahagiaan itu mungkin secara hiperbolis dapat digambarkan dengan ungkapan: harta, takhta dan Maria. Tetapi kabar kehamilan Maria tiba-tiba mengusik kebahagiaan Yusuf. “Alamak! Itu anak siapa?” demikian mungkin saya akan membatin tatkala diperhadapkan dengan situasi Yusuf.
Galau! Mungkin ini adalah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hati si tukang kayu dalam Matius 1:18-19. Jika anda di posisi Yusuf, apa yang anda lakukan? Perhatikanlah bahwa dalam kegalauannya, Yusuf memilih tindakah mengasihi dan melayani daripada menghakimi (Mat. 1:19), serta membuka hati untuk mendengar firman Allah (Mat. 1:24-25). Tengoklah pria sejati ini dan belajarlah darinya!
Peristiwa memilukan lainnya adalah kelahiran Yesus sendiri, bayi yang dikandung Maria itu. Dia dilahirkan di tempat yang paling hina – sang raja terbaring di dalam palungan (Luk. 2:6-7). Tak berhenti sampai disitu. Setelah beberapa lama, oleh petunjuk bintang, para majus dari Timur datang ke Yerusalem untuk mencari sang raja yang telah lahir, yaitu Yesus. Perjumpaan mereka dengan Herodes menimbulkan kecemburuan dan ketakutan Herodes – baginya berita itu adalah ancaman terhadap eksistensinya sebagai penguasa. “…kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia” (Mat. 2:9), adalah niatan jahat Herodes yang berbalut seruan mulia.
Memperhatikan seruan Herodes ini, saya teringat dengan dongeng yang pernah diceritakan oleh Aesop, demikian:
Konon, ada seekor singa tua yang tidak dapat lagi berburu dan menangkap mangsanya. Agar tidak mati kelaparan, ia pura-pura sakit di dalam liangnya, mengaum meminta belas kasihan binatang lain di sekitarnya. Setiap binatang yang menaruh kasihan dan datang ke liangnya ditangkap dan dimakannya. Setelah banyak binatang yang hilang tanpa jejak, seekor serigala menjadi curiga. Kecurigaannya dijabarkan ke dalam usaha penelitian di sekitar liang singa. Kemudian ia mendekati liang singa, berdiri pada jarak aman, lalu dengan hati-hati menanyakan nasib sang singa. “Saya sakit,” kata singa. Singa mengajak serigala mendekat ke liangnya. Tetapi serigala enggan, karena menurut hasil penelitiannya, ada banyak jejak binatang penghuni hutan ke arah liang singa, tetapi tidak ada jejak balik (Wim Poli, Facebook, 23 Oktober 2017).
Dongeng ini mengandung pesan bahwa jika ada yang mengajak kerjasama untuk suatu tujuan bersama yang mulia, teliti dulu rekam jejaknya.
Dengan membaca seruan Herodes dan dongeng Aesop ini secara bersama-sama, kita diingatkan untuk bertindak hati-hati, termasuk dalam melaksanakan agenda-agenda kegiatan yang tampaknya mulia. Melayani sesama itu mulia, tetapi menjadi tidak mulia sama sekali jika orientasi dan dasarnya adalah pujian dan hormat bagi diri sendiri. Merayakan/memperingati natal Yesus Kristus itu juga “mulia.”
Tetapi merayakannya dalam semangat pesta pora dan pemborosan tidaklah mulia sama sekali. Para majus mengajar kita untuk menjadikan pesan Allah sebagai landasan dari setiap tindakan kita. Pengalaman para majus tentu tidak harus menjadi pengalaman kita. Pesan Allah yang mereka terima melalui mimpi adalah cara Allah yang khusus bagi mereka untuk menyatakan maksud-Nya, sama halnya dengan fenomena alam – yaitu bintang yang mereka lihat.
Oleh karenanya jangan mencari-cari amanat atau firman Allah dari mimpi-mimpi dan jangan samakan shio macan dalam mimpi anda dengan pengalaman para majus. Luangkanlah waktu setiap hari untuk berdoa, membaca Alkitab dan merenungkannya. Sebab segala tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik dalam kebenaran (2 Tim. 3:16).
Setelah perjumpaan dengan para majus itu, Herodes menjadi marah karena mereka tidak melaksanakan perintahnya, sehingga rencananya pun gagal. Dalam kemarahan dan ambisi kekuasaan, Herodes memerintahkan untuk membunuh semua anak-anak yang berusia dua tahun ke bawah di Betlehem dan sekitarnya (Mat. 2:16).
Israel mengharapkan masa kegelapan akan sirna saat Juruselamat lahir. Tetapi, “Raheh menangis” lagi. Kali ini dukanya amat dalam, sakit bersalin yang dia tanggung jauh lebih ringan jika dibandingkan sakit yang dirasakannya ketika anak-anaknya dibunuh di depan matanya. Kahadiran Sang Raja Damai ke dalam dunia justru diwarnai dengan kekerasan, ketidakadilan dan kematian. Apakah ini suatu kesalahan? Tentu tidak!
Kenyataan bahwa peristiwa ini sudah dinubuatkan sebelumnya oleh nabi Yeremia (Mat. 2:17-18; Yer. 31:15) mengajarkan kita bahwa bahkan penderitaan terberat sekalipun bukanlah tanda bahwa Allah kehilangan kuasa-Nya. Kisah natal itu kelam, namun yang mencegah kita membaca kisah ini dengan putus asa adalah sebuah nama: Imanuel, Allah beserta kita (Mat. 1:23, Yes. 7:14). Allah masuk ke dalam kisah kita, kisah yang sarat dengan penderitaan, ketidakadilan dan kematian. Dia Allah yang bersama-sama dengan kita, sungguh-sungguh mengerti segala dukacita dan penderitaan yang kita rasakan (bnd. Ibr. 4:15) dan hanya Dia pula yang benar-benar sanggup menolong.
Tuhan memang akan mengakhiri semua ketidakadilan dan kematian. Tetapi natal mengingatkan kita bahwa langkah pertama Tuhan dalam mengakhiri ketidakadilan dan kematian adalah dengan menyerahkan diri-Nya sendiri pada ketidakadilan dan kematian itu (Chris Pappalardo, terj. Zakharia Ngelow, Facebook, 3 Desember 2020).
Sebagaimana peristiwa natal pertama di masa lalu diwarnai dengan penderitaan, ketidakadilan, dukacita dan kematian, demikian pula momen natal kita saat kini turut diwarnai penderitaan, ketidakadilan, dukacita dan kematian. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kita menanggung derita yang sama oleh pamdemi.
Kita berduka bersama-sama dengan keluarga korban yang meninggal akibat covid-19. Selain pandemi covid-19, penderitaan, dukacita dan pergumulan apa lagi yang mewarnai momen natal anda saat ini? Mungkin ada banyak kisah yang membuat momen natal anda kelam, namun yang mencegah anda (juga saya) berputus asa adalah sebuah nama: Imanuel, Allah beserta umat-Nya.
Allah Beserta Kita
Allah masuk ke dalam kisahku dan kisahmu, kisah yang sarat dengan penderitaan, ketidakadilan dan kematian. Dia Allah yang bersama-sama dengan anda menangis dan berduka karena kematian orang yang anda kasihi; Dia Allah yang bersama-sama dengan anda menangis dan bergumul karena PHK yang dialami keluarga anda; Dia Allah yang bersama-sama dengan anda menangis dalam kehancuran hati oleh pengkhianatan pasangan anda; Dia Allah yang turut merasakan pergumulan anda dalam mengerjakan skripsi; Dia Allah yang sungguh mengerti kesesakan hati anda oleh fitnah dan gosip dari para tetangga; Dia Allah yang turut merasakan kepedihan hati orang tua yang tidak didengar anaknya; Dia Allah yang memahami isi hati anak-anak yang terluka oleh sikap orang tuanya; Dia Allah yang turut merasakan kegalauan dan pergumulan anak-anak muda; Dia Allah yang masuk dalam kisahku dan kisahmu. Mari merayakan natal tahun ini dalam kesadaran bahwa kita lemah, rentan dan rapuh. Tetapi Allah hadir dan bersama-sama dengan kita merasakan berbagai persoalan, pergumulan, duka dan air mata yang kita rasakan, dan Dia tidak pernah kehilangan kuasa untuk menolong kita. Yesus, Sang Imanuel datang membawa pemulihan bagi kita umat-Nya (Yer. 30:17-18).
Penulis: Fajar Gumelar