Renungan-Keluaran-25-9-Ziarah-Ke-Kemah-Suci
Renungan-Keluaran-25-9-Ziarah-Ke-Kemah-Suci

Renungan Keluaran 25: 9 | Ziarah Ke Kemah Suci

Renungan Keluaran 25: 9 | Ziarah Ke Kemah Suci. Dalam suatu kunjungan ke rumah dosen beberapa hari lalu, kami diajak untuk melihat beberapa koleksi benda bersejarah – yaitu senjata tradisional – yang terpajang di ruangan pribadi. Salah satu dari benda tersebut adalah keris.

Selain memiliki nilai sejarah dan estetika, keris juga ternyata memiliki nilai filosofis yang sangat dalam, yang pada akhirnya membawa kami – khususnya saya – pada sebuah refleksi tentang Allah yang merengkuh bumi dengan kedua tangan-Nya. Ya, spiritualitas bukan selalu dibangun dalam askese, tetapi juga dalam cengkerama dan perjumpaan dengan yang lain, dalam setiap ziarah.

Dari ruang pribadi sang dosen, mari melanjutkan peziarahan ke tempat yang lebih jauh, di padang gurun, di Kemah Suci Allah.

Ziarah Ke Kemah Suci

Kemah Suci dibangun sesuai dengan petunjuk dari Allah (Keluaran 25:9). Setiap bagian telah di atur dengan sangat detail dan rinci. Bukan hanya itu, Allah pun memberikan kemampuan kepada orang-orang tertentu untuk dapat mengerjakan setiap bagian sesuai dengan petunjuk-Nya.

Kemah Suci dibuat dengan material yang mahal dan berkualitas, dan perabotnya terbuat dari perak dan emas murni. Semuanya ini menggambarkan inkarnasi Allah ke dalam dunia – Yang Kudus, Sang Rajadiraja hadir di tengah-tengah umat-Nya.

Dalam Yohanes 1:14 dituliskan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Kata Yunani yang diterjemahkan ‘diam’ dalam ayat ini berasal dari akar kata yang berarti ‘membangun kemah/tabernakel (Garreth Crossley).

Konstruksi Kemah Suci yang adalah simbol inkarnasi Yang Maha Kudus ke dalam dunia telah mengajarkan kita setidaknya dua hal penting.

Pertama, supaya kita senantiasa bersyukur kepada TUHAN yang setia bersama dengan kita dalam menapaki padang gurun kehidupan yang penuh dengan berbagai macam pergumulan. Bukan hanya mendengar keluh kesah, tetapi Dia juga senantiasa menolong, membebaskan dan menghibur kita, bahkan dalam duka yang tak terkatakan.

Kedua, sebagaimana Allah dalam kehadiran-Nya telah merangkul kita dengan kedua tangan-Nya, kita pun dipanggil untuk merangkul sesama, sehingga cinta kasih Allah yang lebih dulu kita rasakan turut dirasakan juga oleh orang lain melalui cinta kasih kita kepada mereka – cinta kasih yang bukan pura-pura.

Sebagai simbol inkarnasi ada hal menarik lainnya dari Kemah Suci Allah ini. Jika dilihat dari luar, Kemah Suci tampak kurang menarik dan berwarna gelap. Tetapi bagian dalamnya sangat indah, berkilau oleh emas murni dan berbagai kain yang sangat indah (Garreth Crossley). Bukankah model ini menunjuk langsung kepada Yesus? Dari luar “Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya” (Yesaya 53:2). Tetapi, dari dalam Ia “saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga” (Ibrani 7:26).

Berapa banyak pengikut Kristus sibuk mendandani penampilannya tetapi tidak dengan hatinya? Bukankah kebaktian di gereja acap kali menjadi ajang fashion show?

Berapa banyak dari kita yang memberi perhatian kepada sesama yang menderita namun dengan maksud supaya diri sendiri menjadi pusat perhatian bagi yang lain?

Peziarahan ke Kemah Suci ini sekali lagi mengajak kita untuk menjadi pribadi yang sederhana namun indah. Menjadi penyembah Tuhan – manusia beragama yang bijaksana, yang merangkul, mempersatukan dan mendamaikan, bukan memecah belah.

Sebab agama memang menjauhkan kita dari dosa, namun ada banyak perbuatan dosa yang dilakukan atas nama agama (R. A. Kartini). Waspadalah! Waspadalah! (Bang NaPi).

 

Penulis: Fajar Gumelar

Leave a Reply