Renungan Harian Bilangan 11: 31-35 (Aji Mumpung). Penjual gudeg yang cukup ternama di Yogyakarta, memiliki kebiasaan unik. la selalu mengolah 100 daging ayam setiap harinya. Padahal, antrian penikmat gudegnya berjubel. Seringkali 100 ayam yang diolahnya itu tidak mencukupi, kurang dan harus ditambahi. Namun si penjual gudeg ini tidak mau menambahi. “Cukuplah, biar rejekinya bisa dibagi-bagi dengan penjual gudeg yang lain,” katanya sambil tersenyum. Penjual gudeg ini sama sekali tidak menggunakan aji mumpungnya untuk lebih memperkaya diri. la mengerti apa artinya puas, cukup, dan tidak rakus.
Aji Mumpung
Berbeda dengan kisah itu, ketika menuju Tanah Perjanjian, bangsa Israel diberi kelimpahan rejeki oleh Tuhan. Tuhan memberkati mereka dengan burung-burung puyuh yang terbang rendah di sekeliling kemah mereka (ay.31-BIS). Namun, bukannya bersyukur atas rejeki itu atau puas mereka malah menjadi rakus dan serakah. Mumpung ada, mumpung ada rejeki yang diembuskan angin dari laut, setiap orang mengumpulkan paling sedikit 1000 kg burung puyuh (ay.32-BIS). Banyaknya! Betapa rakusnya mereka terhadap berkat dan rejeki dari Tuhan sehingga Tuhan membinasakan sebagian orang Israel yang tidak bisa puas dan bersyukur. Tuhan murka terhadap kerakusan dan keserakahan karena memanfaatkan aji mumpung.
Dalam marketplace, Tuhan selalu melimpahi anak-anak-Nya dengan rejeki setiap hari, Dia tidak pernah membiarkan dan meninggalkan. Ada kalanya Dia mengirimkan rejeki serba pas. Ada kalanya Dia akan memberkati dengan berlebih. Nah, ketika Dia memberkati kita berlebih-lebih, akankah kita bersyukur dan puas atau kita malah akan rakus sehingga menggunakan aji mumpung? Ingat ya Tuhan membenci kerakusan. (stf)