Minggu Prapaskah IV: Radical Forgiveness. Pada pertengahan tahun 2018, ada berita yang viral tentang seorang siswa yang tergolong pandai, tiba-tiba suatu hari ia kedapatan meninggal dunia karena bunuh diri. Setelah diselidiki, ternyata remaja ini mengalami banyak masalah, baik di pendidikannya maupun dalam keluarganya, menyebabkan ia depresi, malu, marah, takut, dan bingung, semuanya bercampuraduk menjadi satu tanpa ia dapat menemukan jalan keluarnya. Ia merasa bersalah pada dirinya sendiri dan keluarganya sehingga tidak dapat mengampuni dirinya sendiri.
Dalam hidup ini kita tidak dapat menghindar dari masalah, ada masalah yang sedangsedang saja, ada pula yang berat sehingga seolah kita tidak mampu menanggungnya, padahal Tuhan Yesus mengingatkan kepada kita, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih-lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu” (Mat.11:28). Jadi Tuhan Yesus mengingatkan kita semua agar selalu berpegang kepada-Nya ketika kita mengalami gelombang dan badai kehidupan agar dimampukan tetap dapat menjaga bahtera hidup kita.
Pengampunan bukan hanya kepada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain, dan pengampunan sejati bukan jaminan bahwa seseorang yang sudah dimaafkan kesalahannya, tidak akan berbuat salah lagi. Sebagaimana pertanyaan Petrus kepada Yesus pada suatu hari, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat.18:21-22).
Pengampunan sejati juga bukan sebuah permintaan, tetapi sebuah ketulusan dari diri orang yang teraniaya kepada si penganiaya sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus ketika berada di atas kayu salib, Ia berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34a). Meskipun tidak ada yang meminta pengampunan-Nya dan tidak ada yang berkata, “Ampuni kami, Yesus, atas apa yang telah kami lakukan terhadap-Mu.”
Namun, Tuhan Yesus tetap mengambil inisiatif dengan menawarkan pengampunan-Nya. Hal ini juga dilakukan oleh Nelson Mandela, mantan presiden Republik Afrika Selatan ketika ia dilantik menjadi presiden setelah bertahun-tahun menderita akibat perlakuan dari rezim apartheid, ia memaafkan lawan politiknya dengan melakukan rekonsiliasi dengan mereka.
Ketika kita tidak bersedia berdamai dengan orang lain, kita seperti membawa sekarung kentang busuk di punggung kita. Selain berat, juga aroma yang tidak sedap terus menerus menyertai kita. Karena itu buanglah karung busuk itu dan berdamailah dengan orang yang pernah bermasalah dengan kita agar beban hidup kita menjadi ringan dan nyaman. Yesus juga mengingatkan agar kita bersedia berdamai dengan sesama, “…jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat. 5:23-24).
Minggu Prapaskah IV: Radical Forgiveness
Dalam minggu Prapaska IV ini, kita diingatkan akan sukacita yang terjadi melalui pengampunan dalam perumpamaan “si anak yang hilang” (Luk. 15:11-32). Betapa besar sukacita yang dialami oleh sang bapa itu ketika menemukan kembali anaknya yang telah hilang selama bertahun-tahun. Tidak ada hukuman terhadap si bungsu yang telah bertobat dan menyadari kesalahannya, melainkan pengampunan. Demikian juga bagi kita umat percaya yang menyadari akan keberdosaan kita, hendaklah kita percaya bahwa pertobatan akan membawa kita kepada pengampunan dari Kristus. (iks – Minggu Prapaskah IV: Radical Forgiveness)