Kasihilah-Musuhmu-Mungkinkah

Kasihilah Musuhmu: Mungkinkah?

Kasihilah Musuhmu: Mungkinkah? Bapak itu aslinya bernama Rolihlahla Dalihbunga Mandela dari klan Madiba. Ketika menempuh pendidikan di Qunu, seorang guru memberinya nama Nelson sehingga mulai saat itu ia dikenal dengan sebutan Nelson Mandela, seorang pemimpin Afrika Selatan.

Masa muda Mandela dihabiskan untuk berjuang melawan politik apartheid yang dijalankan oleh penguasa kulit putih guna mendapatkan kesetaraan hak tanpa membedakan warna kulit. Karena perjuangannya dianggap membahayakan pemerintah pada waktu itu, selama dua puluh tujuh tahun pula ia harus berada dalam penjara di pulau Robben, di lepas pantai Cape Town.

Pernyataan politiknya yang terkenal dalam persidangan di pengadilan Rivonia pada tahun 1963 adalah “Saya memiliki bayangan ideal mengenai masyarakat yang demokratis dan bebas. Dalam masyarakat itu, semua orang hidup bersama dalam harmoni. Dengan kesamaan kesempatan. Hal itu merupakan harapan ideal saya, saya ingin hidup untuk mencapai itu. Tetapi jika diperlukan, saya juga sudah siap untuk mati.”

Pada bulan Februari 1990, Mandela dibebaskan dari penjara dan kembali ke kancah politik dengan menjadi ketua African National Congress dan pada bulan Mei 1994, ia terpilih menjadi presiden kulit hitam yang pertama dari Republik Afrika Selatan. Program utamanya setelah menjadi presiden adalah melakukan rekonsiliasi dengan mantan rezim apartheid.

Kasihilah Musuhmu: Mungkinkah?

Mandela tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk membalas dendam terhadap lawan-lawan politiknya karena menyadari bahwa membalas kebencian dengan kebencian adalah sama dengan menambah kebencian itu sendiri. Dengan kebesaran hatinya Mandela berusaha melakukan rekonsiliasi nasional untuk menciptakan perdamaian di Afrika Selatan, karena baginya tidak akan pernah ada kemakmuran dan ketentraman dalam suatu negara tanpa didahului dengan perdamaian di antara warganya.

Jika saat itu Nelson Mandela tidak melakukan rekonsiliasi nasional dan berdamai dengan lawan-lawan politiknya, apakah mungkin saat ini rakyat Afrika Selatan dapat merasakan suasana damai di negeri itu?

Mandela telah membuktikan, bahwa dengan berdamai dan mengasihi musuh-musuh politiknya, ia bisa menciptakan ketentraman bagi kehidupan bangsa dan negaranya, sehingga bangsa itu bisa hidup tanpa kecurigaan satu sama lain dan bersama-sama pula membangun negara tersebut.

Berdamai itu mudah jika dilakukan hanya melalui lidah-bibir saja. Juga di meja perundingan, ketika mulut dengan tersenyum mengatakan bersedia berdamai dan saling memaafkan, tangantangan juga terlihat bersalaman; namun kaki-kaki yang ada di bawah meja tidak sejalan, kaki-kaki tersebut masih saling sepak, saling injak, dan saling dupak dengan kaki lawan.

Berdamai itu membutuhkan kasih, paling tidak mengasihi pihak yang pernah menyakiti. Itu pasti tidak mudah, namun dengan kebesaran hati dan kesediaan memberikan maaf, maka akan tercipta perdamaian sebagaimana yang diingatkan Yesus, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu.” (Luk.6:27)

Sepuluh hari lagi kita akan merayakan Rabu Abu sebagai awal dari Masa PraPaskah, marilah
kita merenungkan perjalanan hidup Tuhan Yesus yang diwarnai dengan perbuatan kasih kepada
umat manusia, dan kepada Bapa dengan kesetiaan dan kesediaan untuk tidak menolak “cawan
pahit” yang disodorkan kepada-Nya, juga bersedia menjadi korban sejati bagi keselamatan umat
manusia yang dikasihi-Nya.

Siksa salib tidak membuat-Nya membenci para penganiaya Dia, bahkan ucapan-Nya di atas kayu salib, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk.23:34). Ketika Tuhan bersedia memberikan pengampunan, bagaimana
dengan kita sekalian? (IKS)

Leave a Reply